Sekolah Alam part 1

On Sabtu, 02 Desember 2017 0 komentar

Ini salah satu tujuan kami menyekolahkan di sekolah alam.

Just share :

Assalamu'alaikum...

Rasanya sudah pernah tapi gpp di share ulang ya aybun...

Sebagai tambahan renungan kita semua untuk tujuan kita menyekolahkan anak2 kita di sekolah kita tercinta ini ☺🙏

Maaf numpang share tulisan yang berhubungan dengan sekolah alam... Mudah2an bermanfaat. Ustadz Harry Santosa (pendiri Millenial Learning Centre) says :

Saya usul kepada para ortu yg "melirik" sekolah alam atau sekolah alternatif sejenisnya, tetapi masih mempertanyakan "legal" dan "tidak legal", masih mempertanyakan bisa achieve "nilai akademis", masih mempertanyakan fasilitas dan hal-hal non teknis lain seperti jalan masuk, bangunan, dll., masih mempertanyakan "kurikulum diknas", masih berniat memasukkan anaknya ke SMP negeri, masih beranggapan sekolah alam semacam penitipan anak2 "liar", masih menganggap sekolah alam adalah sekolah unggul dstnya.... agar segera melupakan sekolah spt ini, krn akan justru mengganggu "kebahagiaan" anak2nya kelak. Dan jangan teruskan membaca tulisan ini.

Tetapi bagi mereka yg merindukan "sekolah alternatif" dengan segala ekperimen dan inovasi ttg implementasi sekolah yg membebaskan dan membahagiakan, bagi mereka yg curious dgn perkembangan potensi bakat anak plus akhlak/karakter ketimbang akademis, bagi mereka yg berfikir... "lebih baik mencoba sesuatu yg belum tentu gagal, daripada melanjutkan sesuatu yg sdh pasti gagal" , maka sekolah alam atau berbasis potensi bersama komunitas bisa menjadi pilihan yg tiada lagi pilihan lain.

Anak2 SD SA sering keok kalau lomba cepat tepat, tetapi sangat hebat kalau lomba merancang dan mendesign serta mengimplementasikan proyek bersama. Anak SA tidak perlu belajar serius ttg akademik, krn yg dibutuhkan dan diajarkan di sekolah ini adalah ttg curiosity, tradisi belajar sehingga tanpa sadar membawanya pd fast learning.

Anak saya misalnya bisa masuk SMP Negeri favorite dgn rangking atas, cukup di "drill" 2 bulan saja. Anak SA memiliki kemampuan memimpin, keberanian berekspresi melebihi anak2 lain, walaupun sering bengong krn tidak mengenal nama "artis pop" beserta lagunya.

Sebelum belajar mereka membaca ma'tsurat dan menghafal Qur'an, setelah itu belajar dan bermain dengan kambing, mencari harta karun barang bekas, memanjat atap sekolah, memancing ikan, mengerjakan tugas di pinggir danau, berselancar di internet dan perpustakaan.

Mereka tidak pakai buku tulis dan tidak punya buku cetak, yg ada adalah kertas setengah pakai dan perpustakaan serta diskusi yg mengasikkan. Kelas mereka sama sederhanya dengan "kandang kambing", itu menurut anak teman saya yg menolak sekolah di SA krn terbiasa di sekolah islam yg elitis dan mewah.

Tas mereka besar2, isinya bukan buku, tetapi baju ayah utk berkebun, jas hujan, termos minuman, baju salin dan sepatu boots. Liburan mereka tidak naik bis mewah dan menginap di penginapan hangat, liburan mereka adalah ekspedisi ke daerah konservasi, mencari jejak badak, berkano di sungai kecil menyusuri hutan sepi dan rindang, naik kapal kayu menyeberang selat, tidur di tenda, berbasah2 dan ditempeli lintah.

Ini sekedar berbagi pengalaman. Anak2 itu bahagia. Mungkin orangtuanya yg malah "miris" . Dari sinilah, insyaAllah lahir pemimpin yg tidak elitis, yg sejak kecil terbiasa menghargai alam, menghargai sekolahnya bukan krn kemewahan gedungnya dan licinnya seragam, tetapi pesona kebersamaan dan pesona miniatur kehidupannya. Memuliakan teman2 sesama krn kebaikan akhlaknya bukan krn rangkingnya. Mereka terbiasa mencintai sekolahnya, bahkan sampai hari ini, anak saya sdh SMA, bersama teman2nya sering mengenang masa2 indah di SA yg membuat mereka "benar2 diterima" sebagai manusia seutuhnya.

Nah, jika anda nekat memaksa anak anda masuk SA atau sekolah semisal ini, tanpa mau merubah paradigma tentang sekolah, maka anda bisa jadi akan menghalangi dan merusak kebahagiaanya kelak.

#ozora^^

0 komentar:

Posting Komentar